progresifjaya.id, JAKARTA — Semua perkara pidana khususnya penipuan dan penggelapan pasti diawali dengan hubungan hukum keperdataan. Tidak pernah terjadi penipuan dan atau penggelapan kalau tidak ada hubungan keperdataan atau janji – janji yang keuntungannya menggiurkan sebelumnya.
Hal itu diungkapkan oleh Dr. Efendy Saragih, SH.,MH didepan majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH.,MH didampingi R. F. Abbas, SH dan Tiares Sirait SH.,MH ketika diminta pendapatnya atas kasus penipuan dan atau penggelapan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Alex Wijaya dan terdakwa Ng. Meiliani di Pengadilan Negeri(PN) Jakarta Utara, Kamis (5/8-2021).
Ditambahkannya, bahwa saksi korban tergerak hatinya untuk menginvestasikan uangnya ke perusahaan atau PT Innovative Plastic Packaging (PT. IPP) yang dipimpin dan dikelola bapak dan anak yaitu terdakwa Alex Wijaya dan terdakwa Ng Meiliani (penuntutan secara terpisah).
Pasalnya, kata dia, keuntungan yang ditawarkan kedua terdakwa tidak kurang dari dua persen setiap bulan.
Belum lagi dikatakannya bahwa PT. IPP semakin berkembang, bahkan akan go publik.
Dimana korban bukan hanya mendapatkan bunga investasinya setiap bulan, tetapi juga akan mendapatkan deviden.
Karena itulah, lanjut dia, korban semakin tertarik mendengar perkataan kedua terdakwa, sehingga yang seharusnya dia akan meminta keberadaan investasi dan profitnya dari Rp 10 miliar awal dia investasikan, justru malah menambah investasi yang total seluruhnya sebesar Rp 22 miliar.
Namun, sambungnya, keuntungan menggiurkan itu hanyalah isapan jempol belaka, tiada keuntungan dua persen setiap bulan. Bahkan investasi pokok pun lenyap atau tak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa bapak dan anak tersebut kepada saksi korban Netty Malini.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta Effendi Saragih, korban akhirnya merasa dibohongi, juga merasa tertipu.
Intinya, saling terkait demi menguntungkan diri sendiri, untuk mendapatkan kekayaan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
“Saudara ahli, tindak pidana dengan kepailitan, apakah berbeda atau saling berkaitan,” tanya Sorta Afriani, SH didampingi Rumondang Sitorus, SH sebagai jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.
“Soal hubungan pidana dengan kepailitan dari awal itu adalah suatu keperdataan, tentu ada hubungannya yang bersifat positif maupun negatif,” kata ahli.
Ditambahkannya, selain dia diberikan sanksi secara perdata, juga bisa diberi sanksi secara pidana.
Jadi suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum bisa bersanksi dua, itu hubungan hukum secara positif.
Sedangkan hubungan secara negatif, bahwa suatu perbuatan hanya bersifat keperdataan dan hanya boleh diberi sanksi perdata, tidak mungkin diberi sanksi pidana.
“Apabila seseorang (A) itu memberi hutang kepada si B, namun si B yang menerima uang tersebut belum mampu membayar hutangnya dengan situasi saat ini, termasuk bunganya, lalu upaya hukum apa yang seharusnya dilakukan oleh si pemberi hutang,” tanya Tim penasehat hukum kedua terdakwa berilustrasi tanpa menyebutkan para pihak yakni, Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH.,MH, VMF. Dwi Rudatiyani, SH, Johan Pratama Putra, SH, Purnawan Saragih, SH dan Gideon Satria Saro Zagoto, SH, serta Titus Adhi Sandjaya, SH dari Kantor Hukum “DR & Partners”
“Apabila memang hutang tersebut belum mampu dibayarkan oleh si penerima, maka dia pun harus menempuh upaya hukum keperdataan,” terang ahli.
Namun, kata dia, sejak awal perjanjian sudah terlihat itikat buruk atau “nuansa” penipuan dari si penerima uang.
Tetapi itu juga harus dapat dibuktikan sesuai dengan fakta – fakta yang didukung dengan adanya saksi – saksi barulah si pemberi dapat melaporkan hal itu ke Kepolisian kemudian masuk ke ranah pidana dalam pemeriksaan di Pengadilan.
“Secara umum, tidak boleh dipidana orang yang tidak mampu membayar hutang,” tegas ahli ketika salah seorang dari Tim penasehat hukum menanyakan ketidakmampuan seseorang membayar hutang.
Sebagaimana pertanyaan Tim penasehat hukum untuk mengidentifikasikan perbuatan yang bersifat pidana dan bersifat keperdataan dalam arti sifat melawan hukum, dikatakannya, sudah ditentukan secara limitatif dalam rumusan – rumusan dalam hukum pidana yang tentunya dasarnya adalah perbuatan.
Sedangkan, lanjutnya, secara perdata adalah hubungannya secara pribadi – pribadi, tidak sampai masuk kehubungan publik.
Suatu hubungan itu masuk ke publik atau masuk kehubungan pribadi -pribadi itu menjadi pembuktian dari pemeriksaan terhadap kasus itu sendiri.
“Kapan perbuatan hukum itu masuk menjadi pidana ? Kalau perbuatan itu sudah menginjak masalah masyarakat atau ketertiban umum, maka disitulah hubungan publik, kalau perbuatan itu masih dalam pribadi, itu masuk privat dan untuk masuk kehubungan publik ada ukurannya yang sudah ditentukan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP),” jelas ahli.
Menurut ahli atas pertanyaan salah satu dari Tim penasehat hukum para terdakwa terkait dalam pembuktian dimulai sidang pengadilan terkait kebenaran materil adalah sifat dari hukum acara, bahwa setiap pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materil, yaitu mencari kebenaran yang sungguhnya terjadi.
“Setiap perbuatan yang bersifat melawan hukum tidak serta merta hanya dipidana, tetapi bisa juga ke ruang lingkup keperdataan, karena itulah harus dibuktikan dengan keterangan saksi – saksi yang berkesesuaian, juga didukung dua alat bukti, sehingga dapat meyakinkan hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dalam menjatuhkan hukuman apakah seseorang itu bersalah atau tidak,” ujar Dr. Efendi Saragih, SH.,MH.
Terdakwa Alex Wijaya dan Ng Meiliani dipersalahkan jaksa telah melakukan penipuan dan penggelapan atas uang investasi yang ditanamkan saksi korban Netty Malini di perusahaan yang dikelola kedua terdakwa sebanyak Rp 22 miliar.
Atas perbuatan tersebut, kedua terdakwa pun dijerat dengan pasal 378 KUHP dan 372 KUHP.
Sumber : https://www.progresifjaya.id/ketidakmampuan-membayar-hutang-tidak-boleh-dipidana/