Advokat yang membela seorang koruptor kini dianggap sebagai koruptor. Alasannya honor advokat dibayar dari hasil korupsi. Advokat yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara termasuk kategori advokat koruptor juga. Demikian kontroversi yang sedang hangat dewasa ini.
Bagaimana sepatutnya seorang advokat menempatkan dirinya ditengah arus tuntutan klien “harus menang” dan apakah seorang advokat dapat berperan menegakkan the rule of law ditengah kuatnya arus tuntutan agar setiap tersangka korupsi “harus terbukti bersalah”. Dapatkah seorang advokat yang menerima honor dari hasil kejahatan dapat didakwa atas dasar “ikut menikmati hasil kejahatan (korupsi)”?
Isu honor advokat sudah lama menjadi kontroversi. Tidak saja mengenai tarif yang selangit tapi juga sumber dari pembayaran honor itu sendiri. Dalam kasus Jenderal Noriega pada tahun 1988 pengadilan Amerika Serikat saat itu menyita seluruh asset Jenderal Noriega yang berada di Amerika Serikat dan di luar negeri. Akibatnya pembayaran legal fee untuk pembelaan menjadi persoalan yang beralarut-larut. Penuntut umum saat itu bersekukuh tidak bersedia mencairkan asset Jenderal Noriega untuk keperluan pembelaannya. Pada akhirnya, dicapai suatu arrangement yang memungkinkan Jenderal Noriega dapat membayar honor para pembelanya atas dasar bahwa seorang Jenderal Noriega berhak atas jasa pengacara untuk membela diri dimuka pengadilan.
Dalam Konvensi PBB tentang Perdagangan Obat Bius maupun tentang Money Laundering (1988) jo UNTOC (2000) sebagaimana kemudian diadopsi oleh Dewan Eropa tentang Money Laundering menyebutka bahwa setiap orang yang mendapat manfaat dari segala bentuk kegiatan illegal seperti perdagangan obat bius, penculikan, eksploitasi seks, perdagangan anak dan bentuk kejahatan lainnya digolongkan sebagai "predicate offense" (perluasan tindakan yang dapat dituntut atas dasar dianggap turut serta terlibat dalam suatu kejahatan). Berdasarkan ketentuan ini, seorang advokat yang mendapat bayaran dari yang olehnya patut diduga berasal dari kejahatan, tidak immune terhadap tuntutan hukum.
Tentu saja rumusan ketentuan ini menempatkan para advokat pada posisi yang sulit. Disatu sisi advokat yang membela pelaku money laundering dapat di "kriminalkan" karena dia sendiri patut menduga bahwa honor yang diperolehya berasal dari aktivitas criminal yang dilakukan oleh kliennya. Belakangan Konvensi PBB tentang Money Laundering yang diperluas cakupannya oleh Dewan Eropah tersebut mengatur semacam pengecualian atas dasar mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang tersangka. Pengecualian tersebut dikenal dengan sebutan "effective legal remedies" untuk "pihak ketiga". Atas dasar pengecualian ini, maka seorang advokat yang dibayar untuk membela seseorang – walaupun pembayaran honor tersebut diperoleh dari hasil aktivitas kejahatan – dibebaskan dari tuntutan hukum.
Seorang yang tersangkut kasus seringkali tidak mampu membela dirinya sendiri. Jangankan memahami aturan-aturan pidana atau proses persidangan, apa yang menjadi haknya sekalipun seringkali tidak dipahaminya. Ada banyak hak tersangka diatur dan dijamin dalam KUHAP, namun agar hak itu dipenuhi dan ditaati haruslah diperjuangkan. Jaksa selaku wakil Negara bertugas untuk mendakwa seseorang atas nama hukum dan kepentingan publik bukan mewakili individu. Benar tidaknya suatu dakwaan haruslah dibuktikan dan diuji di muka pengadilan. Apakah pasal-pasal yang didakwakaan sesuai dengan perbuatan? Apakah alat-alat bukti yang dihadirkan merupakan alat bukti yang sah dan membuktikan adanya perbuatan yang disangkakan? Apakah proses hukum yang dijalankan oleh aparatur hukum telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana? Disinilah urgensi perlunya jasa seorang advokat. Tentu saja advokat yang diharapkan disini bukanlah advokat yang "membela yang bayar" dalam arti yang menghalalkan segala cara untuk membela klien atau advokat yang "menjamin kemenangan" melainkan advokat yang sungguh - sungguh memperjuangkan kebenaran dan keadilan sesuai the rule of law.
A.V.Dicey, dalam bukunya "An Introduction to the Study of the Law of the Constitution", menyebutkan bahwa salah satu pengertian dari the rule of law adalah bahwa "no man is punishable or can lawfully be made suffer…except for a distinct of breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land". Artinya bahwa seseorang tidak dapat dihukum atau dibuat menderita kecuali atas pelanggaran undang - undang berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan prisnip presumption of innocent yang menganggap bahwa seseorang tidak dapat dianggap bersalah kecuali atas putusan pengadilan.
Memperjuangkan kebenaran dan keadilan adalah tanggungjawab setiap aparatur hukum termasuk advokat. Karena kebenaran dan keadilan (justice) adalah tujuan akhir dari penegakan hukum, maka tugas mewujudkan hukum yang adil harus dimulai dari proses peradilan yang fair, impartial dan terbukanya akses terhadap bantuan hukum. Karena akses terhadap pembelaan merupakan wujud dari sebuah Negara hukum, maka kehadadiran seorang advokat dalam setiap proses peradilan mutlak diperlukan.
Aristoleles mengajarkan kita apa arti keadilan. Menurutnya justice means giving people what they deserve. Artinya bahwa diangga adil ketika seseorang mendapat apa yang pantas untuknya. Pantaskah seorang tersangka koruptor minta dibebaskan oleh advokatnya? Jawabnya adalah bahwa sepanjang alat - alat bukti yang dihadirkan jaksa tidak memadai (not sufficient evidence), tidak sah perolehannya, diragukan atau tidak meyakinkan (not convincing), maka permintaan bebas itu dapat dibenarkan secara hukum. Tidak terkecuali seorang tersangka (korupsi) yang tertangkap tangan sekalipun. Sebab pada dasarnya seorang advokat memperjuangkan kebebasan kliennya atau setidaknya memohon keringanan hukuman. Sedangkan Jaksa berada dalam posisi melakukan penuntutan. Pada akhirnya kebenaran dan keadilan itu memang digantungkan pada kearifan dan judgment hakim selaku interpreter undang - undang dan selaku penerjemah living law di masyarakat.
Seorang advokat tidak identik dengan klienya dan tidak dapat dituntut atas dasar itikad baik. Demikian ditegaskan dalam Pasal 16 dan 18 ayat (2) UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, apa yang dilontarkan Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana baru - baru ini tentang advokat koruptor karena membela tersangka korupsi dan mendapat honor dari hasil korupsi, selain bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, juga merupakan penghinaan terhadap legal profession. Jika hinaan itu ditujukan kepada advokat yang menghalalkan segala cara untuk membela kliennya, maka seharusnya Wamenkunham dapat mengidentifikasi siapa yang terlibat malpraktek - sebagaimana ia sering menyebutnya – sehingga kebencian terhadap segelintir advokat nakal tidak menjelma menjadi kebencian terhadap profesi advokat.
Namun dibalik kontroversi itu, para advokat yang selama ini sering "melakukan transaksi hukum" sudah sepatutnya introspeksi. Begitu juga organisasi advokat sudah waktunya lebih proaktif menindak aneka malpraktek advokat yang terjadi dewasa ini agar citra advokat yang noble tidak tercemar. Jakarta, Sept 2012
Sumber : By Efendi Lod Simanjuntak (Praktisi Hukum)efendi@efendilaw.com
pengacara litigasi jakarta, lawyer litigation, pengacara kriminal jakarta, lawyer litigasi jakarta, criminal lawyer indonesia, pengacara perusahaan jakarta, corporate lawyer jakarta, corporate lawyer indonesia, advokat jakarta, pengacara jakarta